Rabu, 24 Juli 2013
Selasa, 23 Juli 2013
“Deklarasi Masyarakat Sipil Tolak UU Ormas” | YLBHI, 18 Juli 2013
Salah satu perubahan yang timbul sebagai dampak gerakan reformasi 1998 adalah semakin lebar ruang kebebasan anggota masyarakat untuk mengemukakan pikiran dan berserikat. Setiap individu atau sekelompok orang dapat berkumpul, mengikatkan diri dalam sebuah ikatan kebersamaan, hingga menyatakan pendapatnya. Namun, gegap gempita warga mewujudkan kehendak berorganisasi mulai terusik di saat Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) lahir dan semakin menampakkan watak represif dalam setiap episode pembahasannya.
Sejak 2006, rangkaian tanggapan dan penyikapan terhadap RUU Ormas telah disuarakan oleh berbagai pihak, bergelombang dari segala penjuru, hingga kemudian berujung pada penolakan. Argumentasi yang tersaji tidak menyisakan lagi ruang kegentingan akan kehadiran UU Ormas.
Sidang paripurna DPR-RI tanggal 2 Juli 2013 telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) menjadi undang-undang, walaupun selama pembahasannya telah mendapat penolakan yang keras dari masyarakat sipil. Masyarakat menilai bahwa UU Ormas merupakan sebuah langkah mundur dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. selain itu, UU Ormas juga dapat mengekang kebebasan berserikat, berkumpul, dan berorganisasi di Indonesia, dimana kebebasan masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan berorganisasi tersebut merupakan sebuah keniscayaan dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi.
Paradigma UU Ormas juga telah meletakkan masyarakat sipil sebagai ancaman terhadap pemerintah, sehingga masyarakat sipil ditempatkan sebagai objek yang harus diatur, diawasi, dan ditertibkan. Di negara demokrasi, masyarakat sipil lah yang seharusnya melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah, bukan sebaliknya. Negara selayaknya tidak terlalu jauh melakukan kontrol dan pengawasan terhadap organisasi masyarakat sipil, sebaliknya negara harus memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam mengontrol kekuasaan pemerintah melalui berbagai wadah organisasi.
Alasan pemerintah yang bertujuan untuk mengontrol dan menertibkan organisasi-organisasi masyarakat yang selama ini kerap melakukan kekerasan dan pengerusakan melalui UU Ormas ini jelas sangat keliru dan mengada-ada. Persoalan kekerasan yang selama ini kerap dilakukan oleh ormas-ormas tertentu tersebut bukan merupakan persoalan normatif akibat kekosongan hukum, melainkan persoalan empirik atau problem penegakan hukum yang bertumpu pada kinerja aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum sebenarnya telah dapat menjangkau perbuatan tersebut dengan aturan yang sudah ada, seperti KUHP, UU terorisme, UU pendanaan terorisme, UU tentang pencucian uang, dll, sehingga hukum itu menjadi tegak dan berwibawa.
Selain bertentangan dengan konstitusi, UU Ormas juga telah menabrak aturan yang sudah ada, sehingga terjadi tumpang tindih aturan yang bersifat normatif dalam peraturan perundang-undangan, seperti terhadap UU Yayasan dan aturan hukum tentang perkumpulan. Jika pemerintah merasa aturan tentang perkumpulan ataupun yayasan sudah tidak dapat menjawab persoalan hukum kekinian maka selayaknya aturan tersebutlah yang diperbaharui atau disempurnakan, bukan dengan membuat aturan yang bersifat multi-tafsir seperti UU Ormas ini.
Kami menilai bahwa UU Ormas ini merupakan warisan hukum yang bersifat represif jaman rezim Orde Baru. Rezim Orde Baru menggunakan UU No 8 tahun 1985 tentang Ormas sebagai alat untuk mengontrol organisasi masyarakat sipil dan membungkam suara-suara dan kritik dari masyarakat. Maka kami menyimpulkan bahwa UU Ormas ini hanya akan melanggengkan budaya pemerintahan yang anti-kritik, feodal, represif, dan otoritarian. Pemerintahan yang demokratis tidak boleh antipati dan merasa terganggu dengan kritik dan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil.
Belum diberlakukannya UU Ormas ini saja, telah banyak terjadi kriminalisasi dan pembungkaman terhadap kelompok masyarakat yang bersikap kritis terhadap pemerintah. Contoh terbaru adalah kriminalisasi terhadap aktifis anti-korupsi ICW. Beberapa anggota DPR-RI yang diindikasikan tidak pro terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia melaporkan aktifis ICW atas pencemaran nama baik ke Kepolisian. Hal ini tentu akan menjadi lebih berbahaya jika pasal-pasal karet yang bersifat multi-tafsir dalam UU Ormas ini nantinya diberlakukan, tentunya akan menjadi ancaman serius bagi suara-suara kritis masyarakat sipil. Maka dengan ini, kami yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Tolak UU Ormas menyatakan untuk tidak tunduk dan patuh terhadap UU Ormas ini, dan kami juga telah siap untuk menghadapi apapun konsekwensinya.
GERAKAN RAKYAT TOLAK RUU ORMAS
(Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Imparsial, Indonesian Corruption Watch (ICW), Yappika, KontraS, Walhi, LBH Jakarta, Elsam, Institut Perempuan, Wahid Institute, Falun Gong Indonesia, Greenpeace Indonesia, Arus Pelangi, PBHI, HRWG, Indonesian Police Watch, Setara Institute, PSHK, TURC, JSKK, Kasum, ILR, The Ridep Institute, Transparency International, Infid, KRHN, LBH Masyarakat, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Buruh Migran Indonesia, Pewarta, Lingkar Studi Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Forum Asia, Aliansi Tenaga Kerja Indonesia, PPR, KPO-PRP, Indies, GSBI, Yayasan WWF Indonesia, Perempuan Mahardika, Politik Rakyat, Pembebasan, National Papua Solidarity, Urban Poor Consortium (UPC), R. Valentina Sagala, S.E., S.H., M.H. (Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM), Konsil LSM, Liga Mahasiswa Nasional untuk demokrasi (LMND) dan lain-lain)
“Kami Siapkan Untuk Kalian: Sebuah Pemogokan!”
Hari sudah sore, ketika bentrokan antara petugas keamanan dan Komite Aksi Buruh Tangerang (KABUT) terjadi. Runtutan peristiwanya sendiri berjalan dengan sangat cepat: bermula dari robohnya pagar Pemkot Tangerang, kemudian Polisi menembakkan gas air mata. Dalam situasi yang gelap oleh asap dan mata pedih itulah, Satpol PP dan aparat kepolisian dengan membagi buta memukuli peserta aksi. Beberapa orang dilarikan ke rumah sakit akibat tragedi di Jum`at sore itu.
Kejadian itu memang sudah berlalu. Tepatnya dalam sebuah aksi menolak kenaikan harga BBM yang dilakukan buruh Tangerang beberapa waktu yang lalu. Aksi yang sama, juga dilakukan serentak oleh kaum buruh lain di seluruh Indonesia. Sebut saja Bekasi. Puluhan ribu buruh di kawasan industri keluar dari pabrik-pabrik untuk menyerukan penolakan mereka terhadap kenaikan harga BBM.
Meskipun sudah berlalu, namun kejadian itu akan tetap terkenang. Bukan tentang pedihnya terkena gas air mata. Tetapi lebih kepada dampak yang ditimbulkan dari kenaikan BBM itu sendiri. Akibat kenaikan itu, daya beli buruh menurun hingga 30 persen.
“Untuk itu, kami akan memperjuangkan kenaikan upah minimum pada 2014 sebesar 50 persen,” ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal di Jakarta, Selasa (16/7/2013), seperti dikutip seruu.com.
Besarkah kenaikan itu?
Tidak juga. Masih menurut Said Iqbal, kenaikan upah sebesar 50 persen tetap membuat nilai upah buruh indonesia lebih kecil dari upah buruh Filipina, Malaysia, Thailand, India, Brazil dan hanya sedikit diatas upah buruh Vietnam dan Kamboja.
Oleh karena itu, lanjut dia, serikat pekerja mengajak pengusaha dan pemerintah agar lebih baik mendiskusikan bagaiamana cara menaikan produktivitas seiring kenaikan upah 50 persen tersebut, dan mengurangi biaya siluman atau “overhead costs” daripada menolak kenaikan 50 persen yang telah memiskinkan dan menurunkan daya beli buruh.
Diluar upah, serikat pekerja juga tengah memperjuangkan implementasi jaminan kesehatan seluruh rakyat per 1 Januari 2014, bukan bertahap hingga 2019 dengan jumlah peserta PBI sebanyak 156 juta orang.
Bilamana pemerintah tidak mengapresiasi usulan ini, serikat pekerja akan melakukan pemogokan umum di seluruh wilayah Indoensia. Ditegaskan, bahwa perjuangan serikat pekerja menggunakan strategi: Konsep – Lobi – Aksi. Tidak asal bunyi. Jika dialog selalu berakhir dengan hasil yang mengecewakan, pilihannya adalah dengan melakukan serangan langsung ke jantung industry. Melumpuhkan sendi-sendi perekonomian negara.
Tentu kita semua tidak menghendaki pemogokan umum sampai terjadi. Oleh karena itu, sekali lagi kita menghimbau kepada pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk tidak lagi menganggap aspirasi kaum buruh hanyalah sekedar basa-basi. Sudah berkali-kali buruh membuktikan, jika aspirasi mereka diabaikan, segala ancaman yang pernah dilontarkan bukanlah sekedar gertak sambal: dengan sepenuh hati kami akan membuktikannya. (kascey)
Siaran Pers KAJS: “1 Januari 2014, Seluruh Rakyat Tidak Boleh Ditolak Ketika Berobat ke Rumah Sakit”
Berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Menkokesra bersama Kementerian/Lembaga terkait dan hasil Rakernas Dewan Jaminan Sosial Nasional. Dengan ini Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) menyatakan sikap :
Satu. Mendesak Presiden SBY agar konsisten dengan komitmen yang telah disampaikan dalam forum pertemuan antara Presiden SBY dengan pimpinan buruh tanggal 29 April 2013, bahwa PP 101 tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran dan Perpres 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan harus segera DIREVISI.
Dua. Sesuai hasil Rapat Koordinasi Menkokesra bersama Kementerian/Lembaga terkait tentang jumlah peserta dan besaran iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI), Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) menyatakan sikap bahwa besaran iuran sebesar Rp. 22.500,- dengan jumlah peserta 156 juta jiwa.
Tiga. Terkait premi iuran untuk pekerja formal harus sesuai dengan UU No 3 tahun 1992 tentang Jamsostek Jo. PP No.53 tahun 2012 tentang penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja, yang iurannya dibayarkan oleh Pemberi Kerja.
Empat. Tertanggal 1 Januari 2014, seluruh peserta Jamkesda harus sudah menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Lima. Kemenakertrans dan PT.Jamsostek harus segera menyelesaikan regulasi tentang Jaminan Pensiun paling lambat 25 November 2013 sebagaimana diamanatkan oleh UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS.
Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah harus segera mempersiapkan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan dari sisi kualitas, kuantitas, dan meratai.
Bila pemerintah tidak segera menyikapi tuntutan Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), artinya Pemerintah SBY telah melanggar hak konstitusional rakyat, maka KAJS, KSPI, dan MPBI akan menyiapkan aksi besar-besaran.Terima kasih
Said Iqbal
Sekjen Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS)
Buka Bersama & Konsolidasi Mogok Nasional II
Undangan buka bersama keluarga besar Konfederasi serikat pekerja Indonesia (KSPI) hari selasa tgl 30 Juli 2013 Pukul 15.00 s/d selesai. di Bunderan HI. Insya Allah akan dihadiri oleh Presiden KSPI, Pimpinan KSPI dan Pimpinan Federasi affiliasi KSPI bersama 3.000 masssa KSPI. Agenda : Buka bersama dan konsolidasi mogok nasional memperjuangkan :
1. Berlakukan jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat per 1 januari 2014 tidak bertahap.
2. Menuntut kenaikan upah 50%.
3. Bebaskan pekerja outsourcing dari perbudakan modern dan
4. Tolak UU Ormas.
Ayo siapkan diri untuk Pemogokkan umum jilid II.
Ingat kalau kita mau merubah nasib kita, kitalah yg harus bergerak dan memperjuangkannya dengan aksi. bukan menitip nasib pada orang lain.
Jangan berharap banyak pada orang lain. jangan menunggu keberuntungan datang.
Allah akan merubah nasib kita kaum buruh kalau kita serius untuk totalitas berjuang. karena tak akan mungkin berhasil jika berjuang setengah setengah. Infokom KSPI (Rf)
sumber: http://fspmi.or.id/buka-bersama-konsolidasi-mogok-nasional-ii.html
Langganan:
Postingan (Atom)