Senin, 12 Agustus 2013
Inilah 20 Kawasan Industri Baru di Indonesia
JAKARTA, KOMPAS.com — Guna mendukung usaha pencapaian target 40 persen populasi industri di luar Pulau Jawa, pemerintah akan mengembangkan industri yang berbasis sumber daya dengan membangun kawasan industri baru.
Berdasar data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang dirilis pada Rabu (31/7/2013), Indonesia hingga 2013 memiliki 74 kawasan industri dengan sebaran 55 kawasan industri di Pulau Jawa (total luas 22.795,90 hektar), 16 kawasan industri di Pulau Sumatera (4.493,45 hektar), 1 kawasan industri di Pulau Kalimantan (546 hektar), dan 2 kawasan industri di Pulau Sulawesi (2.203 hektar).
Dalam data Kemenperin turut disebutkan, jumlah tersebut ke depan akan bertambah karena kehadiran kawasan-kawasan industri baru yang akan dikembangkan, yakni:
1. Jawa Barat
- Cilamaya/Karawang (3.100 Ha)
- Majalengka (877 Ha)
2. Jawa Tengah
- Kendal (795,6 Ha)
- Boyolali (282 Ha)
3. Jawa Timur
- Gresik (4.285 Ha)
- Lamongan (950 Ha)
- Jombang (812,2 Ha)
4. DI Yogyakarta
- Kulonprogo (2.646 Ha)
5. Sumatera Utara
- Sei Mangkei (2.002 Ha)
- Kuala Tanjung (2.000 Ha)
6. Kepulauan Bangka Belitung
- Bangka (765,4 Ha)
7. Riau
- Tanjung Buton (1.000 Ha)
8. Lampung
- Tanggamus (2.000 Ha)
9. Sulawesi Selatan
- Gowa (842,1 Ha)
10. Sulawesi Tengah
- Palu (1.500 Ha)
11. Kalimantan Selatan
- Batu Licin (530 Ha)
12. Kalimantan Timur
- Kariangau (1.989,5 Ha)
13. Maluku Utara
- Halmahera Timur (300 Ha)
14. Papua Barat
- Tangguh (2.152 Ha)
15. Sulawesi Utara
- Bitung (610 Ha).
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/07/31/2020360/Inilah.20.Kawasan.Industri.Baru.di.Indonesia
Kamis, 01 Agustus 2013
DINAMIKA JARINGAN PERBURUHAN DI INDONESIA: ANGIN SEGAR GERAKAN BURUH
RINGKASAN HASIL PENELITIAN DINAMIKA JARINGAN PERBURUHAN DI INDONESIA:
ANGIN SEGAR GERAKAN BURUH
oleh :
Indrasari Tjandraningsih dan Rina Herawati
Maret 2008
AKATIGA
Pusat Analisis Sosial
Bandung
…..that even in the storm we find some light
(Looking through the eyes of Love Melissa Manchester)
….bahwa di tengah badai sekalipun selalu akan kita
temukan berkasberkas cahaya
RINGKASAN
DINAMIKA JARINGAN PERBURUHAN DI INDONESIA:
ANGIN SEGAR GERAKAN BURUH
Indrasari Tjandraningsih dan Rina Herawati
AKATIGAPusat Analisis Sosial
Bandung
Latar Belakang
Secara umum gerakan buruh di Indonesia diyakini telah atau tengah tidur panjang baik oleh
elemen dan pendukung gerakan maupun dan terutama oleh kalangan yang berada di luar
gerakan. Bahkan untuk sementara kalangan, gerakan buruh dianggap sudah tidak relevan dan
tidak ada harapan. Pandangan semacam itu tidak sepenuhnya salah karena secara sistematis
dan obyektif memang muncul faktafakta yang melahirkan dan menguatkan pandangan tersebut.
Sejak Orde Baru berkuasa, politik perburuhan didominasi oleh warna korporatis dengan
kebijakankebijakan perburuhan yang represif untuk mengendalikan serikat buruh yang
membuahkan serikat buruh kuning yang jinak. Meskipun ada dinamika yang memunculkan riak
riak yang berbeda, dan memandang dari permukaan, secara umum hampir sepanjang Orde
Baru praktis tak ada yang dapat disebut sebagai gerakan buruh. Namun pengamatan yang
sedikit lebih mendalam memperlihatkan justru dalam tekanan, bibitbibit gerakan terus disemai
dan tumbuh dan merupakan penyumbang bagi bergeliatnya gerakan buruh di masamasa
setelahnya hingga kini. Setelah Orde Baru berakhir, peluang untuk lahirnya gerakan buruh
melalui dibukanya pintu berserikat secara bebas dirayakan dengan munculnya begitu banyak
serikat dalam jumlah yang mencengangkan yang menghasilkan perpecahan dan persaingan
antar serikat. Kebebasan berserikat juga tidak menambah jumlah buruh yang berserikat,
meskipun jumlah organisasi serikat buruh menjadi sangat banyak.
Meskipun demikian, sejak paruh kedua satu decade orde reformasi, mulai muncul tunastunas
yang tersemai untuk bangkitnya kembali gerakan buruh di tengah situasi yang sangat didominasi
oleh kekuatan modal yang hampir sepenuhnya menentukan berapa luas ruang gerak yang dapat
dimiliki oleh buruh.
Situasi tersebut menjadi alasan dilakukannya penelitian ini. Studi ini ingin memahami jaringan
perburuhan sebagai salah satu strategi memperjuangkan kepentingan buruh dalam konteks
gerakan buruh di Indonesia dengan cara memotret pergerakan dan aktivitas para pelaku gerakan
melalui kegiatan berjaringan yang dilakukan, dengan mengambil rentang waktu 1980 hingga
2006.
Dipresentasikan di YTKI Jakarta tanggal 4 April 2008, di Hotel Sinar Surabaya tanggal 18 April 2008 dan
di Hotel Puri Garden Batam tanggal 20 April 2008.
Fokus dan pertanyaan penelitian
Perkembangan dan strategi berjaringan yang dilakukan oleh elemenelemen gerakan buruh di
Indonesia, dengan memusatkan jaringan yang muncul di Jakarta dengan sedikit perbandingan
pengalaman dari Bandung. Dua pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana profil dan dinamika jaringan perburuhan dalam kurun 19802006?
2. Apa keluaran dan apa dampak kegiatan jaringan perburuhan terhadap situasi gerakan
buruh saat ini?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut penelitian ini membagi pembabakan jaringan buruh dalam
empat kurun waktu, masingmasing untuk periode 80an90an, tahun 19911997, tahun 1998
2003 dan tahun 20042006. Pembabakan ini didasarkan pada kebijakan industrialisasi dan
kebijakan perburuhan yang dominan yang menjadi konteks sekaligus factor penting yang
mempengaruhi situasi dan dinamika jaringan buruh. Pembabakan dilakukan dalam upaya untuk
dapat melihat kesinambungan, perubahan dan perkembangan yang terjadi yang menyangkut
strategi berjaringan, aktoraktor jaringan, isu utama yang diangkat yang akan memberikan
gambaran mengenai perubahan strategi gerakan buruh dalam usaha menggapai
kepentingannya.
Sumber informasi
Informasi dalam penelitian ini dikumpulkan secara kualitatif melalui wawancara dengan 18 orang
aktivis SB, 8 orang aktivis LSM, 3 mantan aktivis perburuhan, 1 orang dari lembaga donor.
Sumber lain adalah dokumendokumen yang dikeluarkan oleh jaringanjaringan yang diteliti,
catatan pertemuan jaringan, seminar, lokakarya yang diselenggarakan oleh elemen jaringan yang
dihadiri atau dilibati oleh AKATIGA, datadata sekunder berupa dokumendokumen penelitian
yang relevan dari AKATIGA dan dari penelitian yang dilakukan pihak lain. Sebagian dokumen
juga berasal dari hasil penelitian Kosuke Mizuno dkk yang telah terbit sebagai Direktori Serikat
Pekerja/Serikat Buruh Indonesia (AKATIGACSEAS 2007).
Kerangka Berpikir
Gambar di bawah ini menggambarkan kerangka yang digunakan untuk memahami situasi dan
dinamika jaringan:
Definisi Kerja
Gerakan buruh adalah aksiaksi (dalam berbagai bentuk) kaum pekerja untuk mendesakkan
kepentingan mereka kepada pemerintah dan pengusaha. Gerakan buruh selain terdiri dari serikat
buruh, juga LSM dan mahasiswa serta anggota kelas menengah dan akademisi (warga
universitas dalam hal ini dosen).
Jaringan perburuhan
himpunan aktoraktor perburuhan yang dibentuk untuk mempengaruhi atau mendesakkan
kebijakan perburuhan tertentu.
Temuan Penelitian
Dinamika, bentuk aksi dan hasil dari strategi berjaringan dipengaruhi oleh jalinan factor internal
dan eksternal yang tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh aktoraktor gerakan. Dengan kata lain
tidak ada factor penyebab tunggal yang bekerja yang menentukan dinamika dan keluaran dari
strategi berjaringan.
Kebijakan ekonomi politik/Agenda Pemerintah Kepentingan modal Kebijakan perburuhan Situasi Keserikatburuhan Kondisi Perburuhan SP/SB NGOs Mhs Akademisi Lembagalembaga
internasional
Kebijakan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi yang bertumpu pada investasi asing dan
didukung oleh pengendalian serikat buruh adalah kerangka dominan yang membingkai ruang
gerak gerakan buruh selama Orde Baru berkuasa hingga senjakalanya. Ketika rezim Orde Baru
berganti, tumpuan pada investasi asing semakin besar meskipun pengendalian terhadap serikat
buruh sangat dikendurkan oleh Negara akan tetapi secara sistematis dilemahkan oleh modal
dengan difasilitasi oleh pemerintah. Dengan kata lain modal adalah penentu utama, bila tidak
satusatunya, setting arena gerakan buruh di Indonesia sejak awalnya.
Mencermati perkembangan situasi perburuhan selama empat periode, berikut ini adalah ciriciri
yang muncul:
1. Pada periode 8090 dalam iklim SB tunggal jaringan perburuhan beranggota hanya serikat
buruh dan dibentuk oleh sebagian serikat buruh lapangan kerja yang menolak unitarisme dari
FBSI menjadi SPSI yang menghapus otoritas dan kewenangan SBLP dalam mengurus
anggotanya dan mengalihkannya ke pengurus pusat SPSI. Aksi jaringan SBLP menghasilkan
dikembalikannya kewenangan sector dan metode pendidikan untuk penguatan basis di tingkat
pabrik sebagai ujung tombak kekuatan serikat. Keluaran dari metode pendidikan tersebut adalah
aktivisaktivis tingkat basis yang kritis terhadap SPSI dan pemerintah yang kelak menjadi tokoh
serikat buruh alternatif.
Di masa ini dikeluarkan kebijakan yang mengizinkan militer secara legal melakukan intervensi
dan terlibat dalam kasus perselisihan perburuhan serta penempatan militer pensiun maupun aktif
dalam jajaran manajemen maupun pengurus serikat merupakan hal yang jamak. Semua ini
menandai rezim perburuhan yang sangat represif tetapi sekaligus memunculkan tokohtokoh
perlawanan dari SPSI yang menjadi motor jaringan untuk melawan keterlibatan militer dalam
urusan perburuhan.
Akhir periode ini juga ditandai oleh munculnya LSM perburuhan yang bergerak untuk melakukan
pembelaan terhadap eksploitasi dan kondisi kerja buruk yang dialami oleh buruh pabrikpabrik
padat karya yang menghasilkan garmen dan sepatu untuk pasar ekspor, ketika SPSI praktis tidak
melakukan apaapa. Selain melakukan pembelaan, LSM perburuhan juga melakukan pendidikan
organisasi dan hakhak buruh kepada para buruh di tingkat pabrik.
2.Periode 9097 ditandai oleh SB tunggal federatif dan dibukanya kebebasan untuk mendirikan
SB tingkat basis meskipun tetap hanya satu serikat yang diakui pemerintah. SPSI yang tetap
mandul di masa ini melahirkan jaringan perburuhan yang dimotori LSM dengan aksiaksi menolak
militerisme dan menolak UU Ketenagakerjaan 25/1997. Di masa ini
pula lahir dua serikat buruh alternative yang juga dimotori oleh LSM. Sangat jelas dalam periode
ini LSM memegang peran penting dalam membangun jaringan dan menggerakkan (isuisu)
buruh. Gerakan LSM perburuhan ini sama sekali terpisah dari SPSI sebagai institusi akan tetapi
berjaringan dengan aktivisaktivisnya yang tidak puas terhadap kinerja SPSI.
Intervensi militer dalam urusan perburuhan semakin meresahkan dan menjadi isu utama yang
diangkat oleh jaringan perburuhan yang dimotori oleh LSM. Iklim perlindungan HAM di tingkat
internasional berhembus pula di Indonesia yang menyebabkan munculnya banyak LSM
perburuhan dan kegiatan beberapa tokoh LSM tersebut antara lain adalah dibentuknya SB
alternative. Pendirian SBSI dan pendeklarasiannya yang dihadiri oleh LSM perburuhan dan
kelompokkelompok buruh dampingan LSM dari Jawa dan Sumatera Utara menunjukkan
sentralnya peran LSM dalam gerakan buruh di Indonesia.
Kasus Marsinah tahun 1993 yang menghebohkan yang menjadi bukti intervensi militer
melahirkan berbagai jaringan LSM dan mahasiswa untuk menggalang solidaritas dan memprotes
keras kasus tersebut. Tekanan jaringan terhadap kasus ini cukup efektif juga karena didukung
oleh media massa. Kasus ini diusut secara sangat berliku dan para pelakunya dijatuhi hukuman.
Aksi buruh yang fenomenal yang dimotori oleh ketua SBSI yang mantan aktivis LSM, Mohtar
Pakpahan terjadi di Medan tahun 1994 yang berhasil mengerahkan ribuan buruh untuk menuntut
besaran upah minimum.
LSM pula yang menjadi roh gerakan menolak UU Ketenagakerjaan tahun 25/97 di akhir
senjakala Orde Baru. 12 LSM perburuhan bergabung dalam jaringan yang dinamai KPHP
(Komisi Pembaruan Hukum Perburuhan) secara sistematis dan substansial melakukan aksi
penolakan UU tersebut ditandai dengan dikeluarkannya buku yang berisi pemikiran para ahli
mengenai mengapa UU itu harus ditolak. Dalam pandangan KPHP UU tersebut belum memuat
hakhak dasar buruh seperti jaminan atas pekerjaan, kebebasan berorganisasi dan mogok,
lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan yang adil. Aksi penolakan UU 25/97 juga
dilengkapi dengan aksi massa oleh kelompokkelompok buruh. Situasi politik yang rentan, awal
krisis ekonomi dan aksiaksi penolakan yang konsisten yang menyebabkan kepalakepala
pemerintahan yang silih berganti dalam kurun waktu amat pendek mengambil sikap aman
dengan penundaan pemberlakuan UU tersebut menunjukkan penolakan ini sangat berhasil. Dan
selama lima tahun UU untuk mengatur perburuhan kembali ke UU lama sebelum akhirnya
dikeluarkan UU 13/2003.
Dalam periode ini dikeluarkan kebijakan upah minimum dan untuk selanjutnya tuntutan upah
minimum menjadi agenda aksi pokok dalam aksiaksi buruh disamping agenda menolak
kebijakankebijakan lain yang merugikan buruh.
LSM juga membentuk jaringan untuk mengangkat isu perempuan dalam perburuhan yang
selama ini selalu terpisah. Jaringan ini beranggotakan aktivis perempuan LSM yang mengurus
isu perempuan dan kelompokkelompok buruh perempuan serta berusaha memasukkan isu
perempuan dalam jaringan LSM dan buruh yang menangani isu buruh secara umum. Kegiatan
jaringan untuk isu buruh perempuan ini berhasil memasukkan gagasan tentang persoalan
kesehatan reproduksi dan K3 dalam RUU PPK dan PHI melalui jaringan yang beranggotakan
LSM dan buruh untuk isu buruh yang lebih umum meskipun kemudian karena jaringan tersebut
bubar tak ada kelanjutan gagasan itu untuk diakomodasi dalam UU Ketenagakerjaan. Dalam
kaitannya dengan pengangkatan isu perempuan, dibentuk jaringan buruh dan LSM yang
bertujuan meningkatkan kapasitas kepemimpinan perempuan untuk mengurus organisasi buruh.
Jaringanjaringan perburuhan di masa ini dimotori oleh LSM perburuhan yang bekerja sama
dengan kelompokkelompok buruh di tingkat basis baik yang merupakan anggota SPSI maupun
bukan, yang kritis. Penting dicatat bahwa SPSI sebagai sebuah organisasi tidak pernah terlibat
dalam jaringan dan aksiaksinya karena menganggap LSM perburuhan tidak memiliki
kewenangan atau urusan dalam persoalan perburuhan. Pertautan hubungan yang intensif di
antara LSM dengan kelompok buruh mengalami pasang surut dan menghasilkan sifat hubungan
semacam ‘benci tapi rindu’ di antara keduanya. Beberapa pertemuan dilakukan di antara
keduanya maupun internal masingmasing mengenai bagaimana sebaiknya peran LSM : menjadi
serikat atau menjadi pendukung serikat. Perdebatan mengenai hal ini ternyata cukup tajam dan
mampu menyebabkan perpecahan dalam jaringan. Di kalangan buruh LSM acap dianggap
sebagai penjual buruh kepada para donor akan tetapi pada saat yang sama berbagai kebutuhan
dana kelompok buruh dipenuhi melalui jaringannya dengan LSM yang secara langsung
mempunyai hubungan dan akses kepada donor. Perdebatan ini tetap berlangsung di masa
masa setelahnya bahkan hingga saat ini (lihat misalnya indoprogress.blogspot.com/2007/10 dan
/2008/03/).
Patut dicatat di sini bahwa LBH adalah LSM yang sangat sentral dalam dinamika jaringan dan
aksi buruh di Jakarta dan sekitarnya. Disanalah digagas dan dilaksanakan berbagai
pembentukan dan aksiaksi jaringan buruh.
Bagaimanapun, peran LSM dalam membentuk jaringan dan menggerakkan aksiaksi buruh di
masa ini tak dapat disangkal. Demikian juga peran LSM dalam mendorong munculnya dua
serikat buruh baru yang fenomenal di tengah rezim yang represif.
Periode 19982003 ditandai dengan keragaman serikat buruh dengan munculnya kebebasan
berserikat. Segera muncul puluhan serikat dan secara garis besar terdapat empat kelompok
serikat buruh yakni kelompok SPSI, kelompok pecahan SPSI, kelompok serikat yang tak ada
latar belakang serikat buruh dan kelompok SB dukungan atau bentukan LSM. Lima tahun
pertama masa kebebasan berserikat memperlihatkan situasi yang memprihatinkan karena serikat
buruh yang menjadi elemen utama gerakan selain sangat banyak ternyata juga sangat rentan
terhadap perpecahan, SPSI mengalami perpecahan yang intensif. Tiga kelompok serikat lain
juga tak kebal terhadap perpecahan yang parah dan merisaukan.
Di tengah bermunculannya serikat, jaringan perburuhan yang dimotori oleh LSM dan kelompok
serikat buruh independent serta kelompok serikat pecahan SPSI tetap aktif, berdampingan
dengan kegiatan jaringan buruh yang dimotori dan beranggotakan para aktivis serikat pekerja
kelompok pecahan SPSI dan serikat yang baru sama sekali. Jaringanjaringan tersebut dibentuk
untuk merespon peraturan mengenai pesangon dan proses kebijakan perumusan paket 3 UU
Perburuhan dengan strategi masingmasing. Jaringan untuk menolak perubahan ketentuan
pesangon sebagaimana dicantumkan dalam keputusan menteri no.78 tahun 2001 dan no.111
tahun 2001 dibentuk oleh SB dan LSM dengan melakukan tekanan melalui aksi massa yang
dilakukan serentak di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Aksi penolakan ini kemudian tidak
berlanjut karena perhatian dialihkan kepada isu RUU PPI dan PPK yang kelak menjadi UU
Ketenagakerjaan dan UU PPHI.
Jaringan yang digerakkan oleh LSM melakukan serangkaian kegiatan advokasi dengan
konferensi pers, diskusidiskusi pembahasan RUU, rapat dengar pendapat dengan parlemen
yang dilengkapi dengan aksi massa dan permintaan peninjauan kembali UU 13/2003. Jaringan
serikat kelompok pecahan SPSI mengambil strategi yang mirip dengan strategi jaringan LSM
tetapi tanpa aksi massa dan wakilwakil mereka dipilih oleh parlemen untuk membahas RUU
13/2003 dan 04/2004. Jaringan kelompok ini juga mendapatkan fasilitas dari pemerintah dalam
berbagai bentuk antara lain penggunaan gedung Depnaker untuk mengadakan pertemuan pertemuannya.
Lihat ‘pohon silsilah SP/SB’ dalam Direktori Serikat Pekerja/Serikat Buruh Indonesia, AKATIGA
CSEAS 2007
Jaringan lain yang muncul masa ini adalah jaringan yang dibentuk untuk mendesak pemerintah
agar secara resmi 1 Mei diakui sebagai hari buruh dan diperingati. Jaringan ini mendesakkan
tuntutannya melalui aksiaksi massa yang diorganisir dengan rapi dan memperluas anggota
jaringan dengan merangkul media massa, mahasiswa, aktivis etnis Cina dan LSM miskin kota
dan melakukan aksinya di setiap peringatan 1 Mei. Hingga kini 1 Mei memang dapat diperingati
oleh buruh dengan berbagai aksi dan kegiatan.
Muncul pula jaringan yang difasilitasi oleh donor antara lain jaringan untuk memantau
pelaksanaan Code of Conduct dengan anggota para aktivis serikat dan LSM perburuhan.
Di periode ini peran LSM sebagai penggerak jaringan menyurut dibandingkan periode
sebelumnya dan serikat mulai memimpin dan mengambil inisiatif. Tampaknya ini semacam
konsekuensi logis dari munculnya organisasiorganisasi buruh karena iklim kebebasan
berserikat. Dan secara alamiah hal ini juga merupakan hasil dari prosesproses pendidikan dan
pengkaderan yang selama ini dilakukan oleh para aktivis perburuhan.
Periode 20042006
Situasi kebijakan yang memberlakukan praktek buruh kontrak dan outsourcing melalui UU
13/2003 menjadi agenda utama jaringanjaringan buruh yang di masa ini lebih banyak
digerakkan oleh serikat. Strategi aksi massa untuk menolak praktek hubungan kerja yang sangat
merugikan buruh itu dilakukan oleh berbagai jaringan buruh tidak saja di Jakarta tetapi juga di
kotakota lain. Peringatan 1 Mei menjadi saat yang selalu digunakan untuk mengangkat isu ini.
Isu ini juga menyatukan buruh dari berbagai serikat dan dari berbagai sector termasuk sector
jasa dan kerah putih yang selama ini tidak menjadi anggota jaringan.
Masa ini muncul tandatanda serikat menjadi semakin solid setidaknya dengan dilakukannya aksi
massa yang menggabungkan hampir semua kelompok serikat buruh. Satu aksi besar yang
sangat berhasil yang dilakukan pada 1 Mei 2006 harus dicatat dalam sejarah gerakan buruh kita
karena berhasil membatalkan rencana pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU 13/2003.
Aksi ini seperti mengulang keberhasilan aksi jaringan yang menolak UU 25/1997.
Dengan melihat jaringanjaringan yang pernah ada dalam periode ini, dapat dikatakan bahwa
dibandingkan pada periode sebelumnya, meski aktornya relatif tetap, jumlah jaringan yang
terbentuk makin menyusut. Dalam jaringanjaringan di periode ini, peran SB makin besar
sementara peran LSM makin berkurang. Isu upah masih terus menjadi isu jaringan, sementara
isu perempuan masih tetap marginal dan sulit untuk sinergi dengan isu yang dominan.
Perkembangan terakhir menunjukkan sedang mulai terjadinya kristalisasi kekuatan serikat di
tengah fragmentasi yang masih terus terjadi. Kristalisasi serikat terjadi dengan dibentuknya
jaringan antar serikat dari keempat kelompok yang berusaha menyatukan agenda aksi untuk
memberikan artikulasi yang lebih kuat terhadap persoalanpersoalan perburuhan yang paling
meresahkan dan harus menjadi prioritas.
Kesimpulan
• Gerakan buruh di Indonesia tak pernah mati. Aksi-aksi buruh yang dilakukan dengan
strategi berjaringan yang melibatkan elemen-elemen gerakan terus dilakukan baik
secara berkesinambungan maupun secara independent. Kegiatan berjaringan
sebagai upaya mengartikulasikan kepentingan buruh merupakan sebuah cara yang
efektif untuk menjaga denyut gerakan buruh.
• Dinamika, bentuk aksi dan hasil dari strategi berjaringan dipengaruhi oleh jalinan
factor internal dan eksternal yang tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh aktor-aktor
gerakan. Dengan kata lain tidak ada factor penyebab tunggal yang bekerja yang
menentukan dinamika dan keluaran dari strategi berjaringan.
• Terdapat kesinambungan kegiatan jaringan dari periode ke periode terutama dari sisi
actor. Sebagian actor penggerak jaringan mempunyai kaitan sejarah dengan periode
80an baik sebagai pelaku maupun sebagai hasil kaderisasi yang terjadi dalam setiap
periode. Usahausaha penguatan basis melalui kegiatan pendidikan keorganisasian
dan hak-hak buruh yang terus menerus dilakukan sangat bermanfaat dalam
menyiapkan kader-kader pemimpin buruh dan gerakan saat ini.
• LSM berperan penting dalam pembentukan jaringan-jaringan perburuhan khususnya
di periode ketika serikat masih tunggal. Perannya menyurut seiring dengan
munculnya serikat-serikat buruh yang semakin kuat dan berpengaruh.
• Terdapat perkembangan strategi aksi jaringan dari yang berciri reaktif menjadi
proaktif, dari hanya merespon situasi atau kebijakan yang tidak menguntungkan,
berkembang menjadi mendesakkan kebijakan atau mengusulkan konsepkonsep baru.
• Ditengah persaingan dan perpecahan serikat serta persoalan internal yang terus
dihadapi baik oleh LSM maupun serikat, kemunculan jaringan-jaringan buruh
menyiratkan bahwa hal-hal positif lah yang dibawa oleh masing-masing anggota
jaringan sehingga tujuan pembentukan berbagai jaringan relative mencapai
tujuannya. Dinamika jaringan juga menunjukkan adanya kesadaran bahwa aksi
bersama akan lebih kuat pengaruhnya dibandingkan aksi individual dan hal ini
melahirkan potensi kristalisasi kekuatan buruh di tengah situasi fragmentasi.
• Terdapat kristalisasi kekuatan serikat buruh di tengah fragmentasi yang masih terus
terjadi. Kristalisasi ini merupakan bukti bagaimana serikat buruh belajar bahwa
perpecahan bersifat kontraproduktif terhadap gerakan dan kepentingan buruh, dan
bahwa hanya pihak ‘musuh’ yang akan diuntungkan dari perpecahan itu.
Langganan:
Postingan (Atom)